Di tengah dinamika dunia kerja yang semakin kompleks, diskriminasi usia menjadi isu yang semakin meresahkan.
Perluasan teknologi dan perubahan dalam struktur pekerjaan menciptakan tantangan baru bagi pekerja dari segala usia.
Ironisnya, banyak pekerja yang lebih tua dianggap sebagai beban daripada aset dalam mencari pekerjaan baru.
Tulisan ini merupakan pengalaman korban dan fenomena personal ageism yang mungkin bisa menjadi sedikit motivasi di tengah masa-masa menjadi pengangguran bernilai tinggi.
Bagaimana tidak? Bayangkan saja, seorang profesional berpengalaman seperti Pak Cim yang telah bekerja lebih dari 20 tahun dalam bidangnya harus berhenti bekerja. Ya, karena aturan batas usia yang kadang tak masuk akal.
Meskipun memiliki rekam jejak mengesankan, ia mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan baru setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Banyak perusahaan memiliki batasan usia tidak tertulis yang menjadi penghalang besar.
Begitu juga dengan Ibu Siti, seorang ahli keuangan yang terpinggirkan.
Dia adalah seorang ahli keuangan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di berbagai perusahaan besar.
Setelah perusahaan tempatnya bekerja melakukan restrukturisasi dan memutuskan hubungan kerja dengan beberapa karyawan, termasuk Ibu Siti, ia pun mulai mencari pekerjaan baru.
Meskipun memiliki rekam jejak yang luar biasa, ia terus-menerus menghadapi penolakan dari perusahaan yang lebih memilih kandidat yang lebih muda.
Ibu Siti merasa frustrasi dan kehilangan kepercayaan diri, padahal keterampilan dan pengalamannya bisa menjadi aset berharga bagi perusahaan manapun.
Mengutip kompas.com, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi menyampaikan, pembatasan usia pada lowongan pekerjaan lebih ditujukan untuk perlindungan tenaga kerja dan bukan termasuk dalam diskriminasi.
Sementara pakar hukum dan akademisi ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati menilai, syarat batas maksimal usia seharusnya tidak diperlukan.
Kalau menurut Palmore (1999), personal ageism adalah diskriminasi berdasarkan usia yang sering didasari oleh stereotip dan prasangka negatif.
Misalnya, anggapan bahwa pekerja yang lebih tua kurang adaptif atau tidak produktif serta pekerja yang lebih tua syarat akan pengalaman serta minta gaji tinggi.
Di Indonesia, dengan populasi pekerja usia lanjut yang terus meningkat, diskriminasi usia dapat menghalangi potensi besar dari angkatan kerja yang berpengalaman.
*Dampak Diskriminasi Usia
Terhadap Individu*
Diskriminasi usia memiliki dampak yang menghancurkan. Pekerja yang lebih tua merasa tidak dihargai dan kehilangan kepercayaan diri ketika ditolak pekerjaan karena usia.
Ini tentu saja mempengaruhi kesejahteraan mental dan menyebabkan kesulitan finansial yang serius.
*Perusahaan Bisa Rugi Besar Menolak Profesional*
Perusahaan yang mengabaikan pelamar kerja yang lebih tua sering kali melewatkan keuntungan dari pengalaman dan keterampilan yang mereka bawa.
Pekerja yang lebih tua biasanya memiliki pengetahuan mendalam tentang industri, loyalitas yang tinggi, dan keterampilan manajemen yang matang.
*Dampak Terhadap Ekonomi dan Masyarakat*
Diskriminasi usia memperlebar kesenjangan sosial dan mengurangi produktivitas nasional.
Angkatan kerja yang tidak terpakai berarti potensi ekonomi yang terbuang, meningkatkan beban pada sistem kesejahteraan sosial dan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional.
*Stereotip dan Prasangka*
Anggapan bahwa pekerja yang lebih tua kurang adaptif terhadap teknologi atau memiliki produktivitas yang lebih rendah sering kali tidak berdasar.
Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang lebih tua memiliki keterampilan dan pengalaman yang justru meningkatkan efisiensi kerja.
*Kebijakan Perusahaan*
Banyak perusahaan menerapkan kebijakan rekrutmen yang tidak adil bagi pekerja yang lebih tua.
Preferensi terhadap kandidat yang lebih muda atau batasan usia dalam kriteria seleksi merugikan perusahaan itu sendiri.
*Teknologi dan Perubahan Industri*
Perubahan teknologi yang cepat menjadi tantangan bagi pekerja yang lebih tua. Banyak perusahaan berasumsi bahwa pekerja yang lebih tua tidak mampu beradaptasi dengan teknologi baru, meskipun banyak dari mereka sebenarnya mampu belajar dan beradaptasi jika diberikan pelatihan yang tepat.
*Solusi dan Rekomendasi*
Kebijakan Pemerintah:
Pemerintah harus memainkan peran aktif dalam mencegah diskriminasi usia melalui regulasi yang ketat.
Hukum ketenagakerjaan perlu diperkuat untuk melindungi pekerja dari diskriminasi usia.
Praktik Rekrutmen yang Inklusif
Perusahaan perlu menilai pelamar berdasarkan keterampilan dan pengalaman, bukan usia.
Pelatihan untuk tim HR agar lebih sadar akan bias usia dan menerapkan proses seleksi yang lebih transparan dan adil sangat penting.
*Pendidikan dan Pelatihan*
Program pengembangan keterampilan bagi pekerja yang lebih tua sangat penting.
Perusahaan harus menyediakan peluang pelatihan yang berkelanjutan untuk memastikan semua karyawan dapat mengikuti perkembangan teknologi dan industri.
Fenomena "Lazy Recruiting" dan Wacana Ageisme
Perekrut sering kali terjebak dalam konsep "lazy recruiting", menghindari pekerja lanjut usia karena dianggap "mahal" dan terlalu ahli.
Persepsi ini mendorong perusahaan untuk memilih pekerja yang lebih muda dengan upah yang lebih rendah tanpa mempertimbangkan nilai tambah dari pengalaman dan kemampuan manajerial pekerja lanjut usia.
*Pendapat Tokoh Terkenal dan Data Statistik*
Pernyataan dari tokoh-tokoh terkenal, seperti pendiri Facebook Mark Zuckerberg ” "Orang muda memang jauh lebih pintar," dan "Orang di atas usia 40 ibarat orang yang kehabisan ide baru," venture capitalist Vinod Khosla, mencerminkan preferensi terhadap pekerja yang lebih muda.
Menurut AAARP, sebanyak 64% warga AS berusia 45-60 tahun telah menyaksikan dan mengalami diskriminasi berdasarkan usia.
*Permohonan Uji Materi oleh Leonardo Olefins Hamonangan*
Leonardo Olefins Hamonangan mengajukan permohonan uji materi Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi.
Norma tersebut dianggap diskriminatif sehingga menghambat pelamar untuk mendapatkan pekerjaan.
Keputusan MK akan menjadi titik balik penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan inklusif.
Diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan adalah masalah kompleks yang merugikan banyak pihak. Upaya bersama diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan adil bagi semua.
Dengan menghapus diskriminasi usia, kita memaksimalkan potensi seluruh angkatan kerja. Dan perlu pengawasan ketenagakerjaan untuk menegakkan aturan anti-diskriminasi di tempat kerja.
*Solusi untuk Diskriminasi Usia*
Kebijakan Inklusif:
Mengadopsi kebijakan rekrutmen yang adil dan bebas dari bias usia
Program Pelatihan Ulang:
Menyediakan program pelatihan ulang bagi pekerja yang lebih tua untuk mengikuti perkembangan teknologi.
*Tren Usia Pelamar Kerja dalam Satu Dekade Terakhir*
Tabel ini akan menunjukkan perbandingan persentase pelamar kerja dalam berbagai kelompok usia antara tahun 2014 dan 2024.
Pembagian Usia Pelamar Kerja (2014)
18-24 tahun: 25%
25-34 tahun: 35%
35-44 tahun: 20%
45-54 tahun: 15%
55+ tahun: 5%
Pembagian Usia Pelamar Kerja (2024)
18-24 tahun: 20%
25-34 tahun: 30%
35-44 tahun: 25%
45-54 tahun: 15%
55+ tahun: 10%
Sumber Data :
Badan Pusat Statistik (BPS)
Kementerian Ketenagakerjaan
Survei Pasar Kerja Internasional
Penulis : Aminuddin (Agent Writerhood 004)
Kadang terbalik, yg 30 keatas malah niat kerja, yg 20 an banyak melempem